Rahim secara bahasa berarti rahmah yaitu lembut dan kasih sayang.
Tarahamal qaumu artinya saling berkasih sayang. Imam Al-Azhary berkata
yang dimaksud dengan firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan
tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam”. (QS. Al- Anbiya': 107) adalah kasih sayang.
Tarahhama
‘alaihi berarti mendoakan seseorang agar
mendapatkan rahmat, istarhama berarti memohonkan rahmat. Rajulun
rahumun (orang laki-laki yang penyayang) dan imra’atun rahumun
(perempuan yang penyayang). Ar-Rahmah fi bani adam, berarti kelembutan
dan kebaikan hati.
Seseorang
dikatakan dekat dengan kerabat apabila dia telah memiliki kasih sayang dan
kebaikan sehingga menjadi betapa baik dan sayang. Abu Ishaq berkata: Dikatakan
paling dekat rahimnya yaitu orang yang paling dekat kasih sayangnya dan paling
dekat hubungan kerabatnya.
Ar-ruhmu dan ar-ruhumu secara bahasa adalah kasihan dan
simpati. Allah menyebut hujan dengan nama rahmat. Ibnu Sayyidih berkata bahwa
yang dimaksud dengan ar-rahim dan ar-rihimu adalah rumah tempat
tumbuhnya anak, dan jamaknya arhaam. Al-Jauhary berkata ar-rahim
berarti kerabat. Imam Ibnu Atsir berkata bahwa dzu rahim adalah
orang-orang yang memiliki hubungan kerabat yaitu setiap orang yang memiliki
hubungan nasab dengan anda.
Imam
Al-Azhary berkata ar-rahim adalah hubungan dekat antara bapak dan
anaknya dengan kasih sayang yang sangat dekat. Allah Ta’ala berfirman:
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ
“Dan
bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim.” (QS. An-Nisa': 1)
Orang
Arab mengatakan: “Saya ingatkan engkau dengan takut kepada Allah dan hubungan
silaturrahim”.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menganugerahi umat ini dengan mengutus nabi dari
kalangan mereka sendiri dan menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa mereka. Allah
berfirman:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ
مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya
telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. (QS. At-Taubah: 128)
Dan
firman Allah:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ
تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya
Kami menurunkan berupa Al- Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya”. (Yusuf: 2)
Kitab
suci Al-Qur’an diturunkan bukan hanya sekadar untuk diambil berkahnya dan
dibaca, atau hanya menetapkan masalah tauhid dan aqidah saja, atau menetapkan
syari’at saja, akan tetapi Al-Qur’an datang juga untuk mendidik umat serta agar
membentuk masyarakat dan negara.
Sesungguhnya
Islam memiliki manhaj tersendiri yaitu manhaj Robbani dan Islam sangat
memperhatikan masalah ikatan keluarga setelah menjadikan ikatan utama yaitu
ikatan aqidah sebagai landasan hubungan. Keterikatan dengan keluarga yang
saling melindungi termasuk aturan agama Islam serta merupakan fitrah di dalam
jiwa kemanusiaan, dan Islam mendorong serta membina kuatnya hubungan kerabat
kepada tahapan yang lebih baik. Selagi hubungan keluarga menjadi sarana untuk
kepentingan dan kemaslahatan Islam, maka hubungan kerabat tersebut termasuk
sebagai usaha untuk membentuk masyarakat Islam.
Dan
ciri utama orang mukmin dalam beragama adalah selalu dibuktikan dengan amalan
dan perbuatan bukan hanya sekedar ucapan dan pengakuan. Allah Ta’ala berfirman:
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ
“Dan
saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang”.
(Al-Balad: 17)
Kata
al-marhamah lebih dalam dari pada rahmah, yang berarti saling
berkasih sayang antara sesama orang-orang yang beriman dan berwasiat agar
mereka selalu berkasih sayang antar sesama mukmin dan bahkan wasiat tersebut
dijadikan sebagai kewajiban bermasyarakat serta tolong menolong untuk
menegakkan wasiat tersebut di tengah-tengah masyarakat. Dan biasanya lingkungan
yang paling tepat dan sangat subur untuk menumbuhkan wasiat tersebut adalah
hubungan kerabat sehingga Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjadikan hubungan kerabat sebagai sasaran utama dalam berwasiat
untuk saling berkasih sayang.
Menyambung
hubungan kerabat adalah wajib dan memutuskannya merupakan dosa besar. Imam
Nawawi rahimahullah berkata:
“Barangsiapa
yang secara sadar menghalalkan pemutusan hubungan kerabat tanpa sebab atau ada
subhat sedangkan dia tahu bahwa memutuskan hubungan kerabat adalah haram, maka
dia kafir, kekal di Neraka dan tidak akan masuk Surga selama-lamanya.”
Menyambung
silaturrahim mempunyai beberapa tingkatan dan yang paling rendah adalah
menyambung kembali hubungan yang telah putus dengan berbicara atau hanya sekedar
mengucapkan salam supaya tidak masuk ke dalam pemutusan hubungan kerabat. Jika
seseorang menyambung sebagian hubungan kerabat tapi tidak sampai seluruhnya,
maka dia tidak bisa dikatakan memutus hubungan kerabat. Tetapi jika kurang dari
kewajaran yang semestinya dari silaturrahim, maka belum bisa seseorang disebut
menyambung.
Para
ulama berbeda pendapat tentang kerabat yang wajib disambung hubungan
silaturrahimnya, sebagian mereka berpendapat bahwa setiap orang yang ada
hubungan mahram, sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa setiap orang yang ada
hubungan kerabat dengan kita baik berupa hubungan mahram atau yang lainnya,
seperti anak perempuan paman atau bibi. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam tentang penduduk Mesir:
“Sesungguhnya
bagi mereka ada hak perlindungan dan kekerabatan”. (HR. Ath-Thabrani)
Dan
juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
“Sesungguhnya
kebaikan yang terbaik adalah seseorang bisa menyambung hubungan kerabat dengan
teman bapaknya”. (Shahihul Jami’, Al-Albani)
Padahal
mereka yang disebutkan dalam hadits di atas tidak memiliki hubungan nasab sama
sekali. Berarti hadits di atas mempunyai makna yang sangat luas yaitu kewajiban
berkasih sayang dan menaruh perhatian kepada sesama umat Islam dan ini sesuai
dengan tuntutan ajaran dan kenyataan.
Kitabullah dan Silaturrahim
Allah
Ta’ala berfirman:
“Dan
bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
memin-ta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim.” (QS. An-Nisa': 1).
Keluarga
adalah pondasi utama terbangunnya sebuah lingkungan masyarakat. Dan perekat
pertama hubungan antar manusia adalah perekat hubungan yang bernilai rububiyah
yang merupakan perekat hubungan yang paling dasar. Allah memuji hubungan
manusia karena ikatan kekerabatan. Maka bertakwalah kepada Allah yang kamu
saling berjanji dan berikrar dengan keagungan nama-Nya, kamu saling meminta
satu sama lain dengan kebesaran nama-Nya dan kamu saling bersumpah satu sama
lain dengan nama-Nya. Tumbuhkanlah nilai takwa di antara kalian agar hubungan
kerabat tetap bersambung dan langgeng. Hubungan kerabat adalah hubungan yang
sangat penting setelah hubungan rububiyah dan perasaan takut kepada Allah.
Kemudian, takut untuk memutuskan silaturrahim, selalu memperhatikan hak-haknya,
menjaga kelestarian hubungan jangan sampai menghancurkan dan menganiaya
kemesraannya, jangan sekali-kali mencoba mengusik dan menyentuh keutuhannya.
Berusahalah untuk selalu dekat, cinta, hormat dan memuliakan silaturrahim. Jadikanlah
kerinduan dan keteduhan hidup anda di bawah naungan dan kemesraan silaturrahim,
Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An-Nisa': 1)
Dan
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“Dan
orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya
dan takut kepada hisab yang buruk.“. (QS. Ar-Ra’d: 21)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita menyambung hubungan baik dengan
orang faqir, hubungan baik dengan tetangga dan hubungan baik dengan kerabat dan
sanak famili.
Apabila
manusia memutuskan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan,
maka ikatan sosial masyarakat akan hancur berantakan, kerusakan menyebar di
setiap tempat, kekacauan terjadi di mana-mana dan gejala sifat egoisme dan mau
menang sendiri akan timbul dalam kehidupan sosial. Sehingga setiap individu masyarakat
menjalani hidup tanpa petunjuk, seorang tetangga tidak tahu hak bertetangga,
seorang faqir merasakan penderitaan dan kelaparan sendirian dan hubungan
kerabat berantakan, sehingga kehidupan manusia berubah menjadi kehidupan hewani
serba tidak berharga.
Dari
Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa
yang senang diluaskan rizkinya dan ditunda umurnya, maka hendaklah
bersilaturrahim”. (Muttafaq ‘alaih).
Berbuat Baik Kepada Orang Tua Merupakan Silaturrahim
Yang Paling Utama
Bersilaturrahim
dan berbuat baik kepada orang tua merupakan ajaran yang menjadi ketetapan
Kitabullah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Allah Ta’ala berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”. (QS. Al-Isra': 23)
Wa
Qadha Rabbuka berarti suatu perintah yang lazim
tidak bisa ditawar-tawar lagi dan Alla Ta’budu Illa Iyahu berarti
perintah ibadah yang bersifat individu.
Allah
menghubungkan beribadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada orang tua
menunjukkan betapa mulianya kedudukan orang tua dan birrul walidain
(berbuat baik kepada orang tua) di sisi Allah.
Secara
naluri orang tua dengan suka rela mau mengorbankan segala sesuatu untuk
memelihara dan membesarkan anak-anaknya dan anak mendapatkan kenikmatan serta
perlindungan sempurna dari kedua orang tuanya.
Seorang
anak selalu merepotkan dan menyita perhatian orang tuanya dan tatkala menginjak
masa tua mereka pun tetap berbahagia dengan keadaan putra-putrinya, akan tetapi
betapa cepat seorang anak melalaikan semua jasa-jasa orang tuanya, hanya
disibukkan dengan isteri dan anak sehingga para bapak tidak perlu lagi
menasihati anak-anaknya hanya saja seorang anak harus diingatkan dan digugah
perasaannya atas kewajiban mereka terhadap orang tuanya yang sepanjang umurnya
dengan berbagai kesulitan dihabiskan untuk mereka serta mengorbankan segala
yang ada demi kesenangan dan kebahagiaan mereka hingga datang masa lelah dan
letih.
Maka
berbuat baik kepada kedua orang tua menjadi keputusan mutlak dari Allah dan
ibadah yang menempati urutan kedua setelah beribadah kepada Allah.
وَ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ
كِلاهُمَا
“Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu”. (QS. Al-Isra': 23)
Kibar atau kibarul sin artinya berusia lanjut, umur sudah
mulai menua, punggung sudah mulai membungkuk dan kulit sudah mulai keriput. ‘Indaka
yang berarti pemeliharaan yaitu suatu kalimat yang menggambarkan makna tempat
berlindung dan berteduh pada saat masa tua, lemah dan tidak berdaya. Allah
Ta’ala berfirman:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
“Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka”.
(QS. Al-Isra': 23)
Seakan-akan
Allah berfirman; Bersopan santunlah kamu kepada orang tua! Dengan demikian ayat
tersebut mengajarkan sikap sopan agar seorang anak tidak menunjukkan sikap
kasar serta menyakitkan hati atau merendahkan kedua orang tua. Allah Ta’ala
berfirman:
وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
“Dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (QS. Al-Isra': 23)
Ini
tingkatan yang lebih tinggi lagi yaitu keharusan bagi anak untuk selalu
mengucapkan perkataan yang baik kepada kedua orang tua dan memperlihatkan sikap
hormat serta menghargai. Allah Ta’ala juga berfirman:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
“Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang”. (QS. Al-Isra': 24)
Seolah-olah
sikap rendah diri memiliki sayap dan sayap tersebut direndahkan sebagai tanda
penghormatan dan penyerahan diri dalam arti sikap rendah diri yang selayaknya
diperintahkan kepada kedua orang tua, sebagai pengakuan tulus atas kebaikan dan
jasa-jasanya. Allah Ta’ala berfirman:
وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan
ucapkanlah: “Wahai Tuhanku kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al-Isra': 24)
Penyebutan
kondisi masa kecil yang lemah yang membutuhkan perawatan dari kedua orang tua mengingatkan
kepada kondisi yang sama yang sedang dialami orang tua tatkala menginjak lanjut
usia yang selalu membutuhkan kasih sayang dan perawatan semisal. Lalu memohon
kepada Allah agar bisa memberi belas-kasih kepada mereka berdua sebagai
pengakuan atas kekurangan dalam memberi kasih sayang secara sempurna dan hanya
Allahlah yang bisa memberi kasih sayang atau perawatan yang sangat sempurna
serta hanya Dialah yang mampu membalas semua kebaikan dengan sempurna yang
tidak mungkin bagi anak untuk melakukannya.
Bukti
kasih sayang Allah banyak sekali yang tampak pada makhluk lain. Suatu contoh
cahaya matahari yang menyinari alam semesta, udara yang dihirup manusia melalui
proses paru-paru, air berfungsi untuk minum, masak dan menyiram tanaman dan
kasih sayang ibu terhadap anaknya yang muncul secara fitrah sebagai bukti nyata
kasih sayang Allah Rabb semesta alam.
Orang
mulia dan baik kepada kedua orang tua akan selalu tahu kedudukan serta
kemuliaan orang tua, dia merasakan tatkala mencium tangan ibu atau bapaknya
seolah-olah dia bersujud dengan ruh dan perasaannya laksana bersujud kepada
Allah, dia mendapatkan jati diri yang sebenarnya sebagai suatu rahasia dalam
kehidupan. Semua itu menjadi bukti penghargaan dan penghormatan kepada kedua
orang tua.
Allah
Ta’la berfirman:
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ
جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا
“Dan
Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya”. (QS. Al-Ankabut: 8).
Orang
tua adalah kerabat terdekat yang mempunyai jasa yang tidak terhingga dan kasih
sayang yang besar sepanjang masa sehingga tidak aneh bila hak-haknya juga
besar. Seorang anak wajib mencintai, menghormati dan memelihara orang tua
walaupun keduanya musyrik atau berlainan agama, keduanya berhak untuk diberi
kebaikan dan pemeliharaan bukan mentaati dan mengikuti kesyrikan atau agamanya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ
وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun.” (QS. Luqman: 14)
Disebutkan
berulang-ulang serta banyak sekali wasiat untuk seorang anak agar berbuat baik
kepada kedua orang tuanya di dalam Al-Qur’an dan wasiat Rasul shallallahu
‘alaihi wasallam dan tidak disebutkan wasiat orang tua untuk berbuat baik
terhadap anaknya kecuali sedikit.
Karena
kebaikan dan pengorbanan orang tua berupa jiwa, raga dan kekuatan yang tak
terhitung tanpa berkeluh kesah dan meminta balasan dari anaknya, secara fitrah
(naluri) sudah cukup sebagai pendorong kedua orang tua untuk bersikap demikian
tanpa ditekan dengan wasiat. Adapun anak harus selalu diberi wasiat dan
diingatkan agar senantiasa ingat akan jasa-jasa orang yang selama ini telah
mencurahkan jiwa dan raga serta seluruh hidupnya dalam membesarkan dan
mendidiknya. Apalagi seorang ibu selama mengandung mengalami banyak beban berat
sebagaimana firman Allah Ta’ala (ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah
yang bertambah-tambah), ibu lebih banyak menderita dalam membesarkan dan
mengasuh anaknya, dan penderitaan di saat hamil tidak ada yang bisa merasakan
payahnya kecuali kaum ibu juga.
Al-Bazzar
meriwayatkan hadits dari Buraidah dari bapaknya bahwa ada seorang lelaki yang
sedang thawaf sambil menggendong ibunya, lalu dia bertanya kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Apakah
dengan ini saya sudah menunaikan haknya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab: “Belum! Walaupun secuil”.
Dari
Al-Miqdam bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya
Allah berwasiat agar kalian berbuat baik kepada ibu-ibumu, sesungguhnya Allah
berwasiat agar berbuat baik kepada bapak-bapakmu dan sesungguhnya Allah
berwasiat kepada kalian agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu”. (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah).
Anak
adalah bagian hidup dan belahan hati orang tua, kasih sayangnya mengalir di
dalam darah daging keduanya.
Dari
‘Aqra’ bin Habis sesungguhnya dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mencium Hasan, lalu dia berkata: “Sesungguhnya saya mempunyai sepuluh
orang anak dan saya tidak pernah mencium seorangpun di antara mereka. Beliau
bersabda:
“Sesungguhnya
barangsiapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayang”. (Muttafaq ‘alaih)
Al-Ahnaf
bin Qais rahimahullah ditanya tentang masalah sikapnya terhadap anak, maka
beliau menjawab: Anak adalah buah hati, belahan jiwa dan tulang punggung, kita
rela terhina bagaikan bumi rela diinjak demi mereka dan bagaikan langit yang
siap menaungi hidup mereka dan kita siap menjadi senjata pelindung bagi mereka
dalam menghadapi marabahaya. Jika mereka minta sesuatu kabulkanlah dan bila
marah cari sesuatu yang menyenangkan hatinya, maka mereka akan membalas kasih
sayangmu dan berterimakasih atas setiap pemberianmu. Janganlah kalian merasa
berat dan terbebani oleh anakmu, sebab mereka akan mengacuhkan hidupmu dan
menghendaki kematianmu serta segan mendekatimu.
Apabila
seorang anak di mata orang tua kedudukannya seperti itu, seharusnya anak
menempatkan posisi orang tua tidak kurang dari itu dalam menghormati dan
memuliakan orang tua mereka sebagai bukti balas budi dan pengakuan terhadap
kebaikan yang telah didapat dari orang tua. Di samping tetap melestarikan
kewajiban silaturrahim kepada mereka berdua sesuai ketentuan Kitabullah.
Dari
Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tiga
macam doa yang pasti terkabulkan; doa orang tua untuk anaknya, doa orang
musafir dan doa orang yang teraniaya”.
(Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Al-Albani).
Imam
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta izin untuk ikut serta berjihad,
maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apakah kedua orang tuamu
masih hidup? Dia berkata: “Ya, masih hidup”. Beliau bersabda: “Maka berjihadlah
dalam (menjaga) keduanya”.
Dari
Abu Bakrah berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Maukah
kalian aku ceritakan tentang dosa yang paling besar?” Kami menjawab: “Ya wahai
Rasulullah”. Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua
orang tua.” Beliau waktu itu bersandar, maka terus duduk dan bersabda:
“Ketahuilah, dan perkataan dusta”. (Shahihul
Jami’)
Dari
Abdullah Ibnu Mas’ud berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam: Apakah amal yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab:
“Shalat
pada waktunya.” Saya bertanya: “Lalu apalagi?” Beliau bersabda: “Berbuat baik
kepada orang tua”. Saya bertanya: “Kemudian apalagi?” Beliau shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Jihad di jalan Allah”. (Muttafaq ‘alaih)
Dari
Jabir bin Abdullah sesungguhnya seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah
sesungguhnya saya mempunyai harta dan anak, dan bapak saya menginginkan
hartaku. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Engkau
dan hartamu adalah milik bapakmu”.
(Muttafaq ‘alaih).
Dan
petunjuk birrul walidain yang terbaik adalah sikap yang telah
ditunjukkan oleh para nabi ‘alaihimus shalatu wa salam sebagai simbol anutan
dan petunjuk bagi setiap manusia. Nabi Ismail ‘alaihi salam berkata dan
ucapannya diabadikan dalam firman Allah Ta’ala:
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ
اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Ia
menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar”. (QS. Ash-Shafaat: 102).
Nabi
Nuh ‘alaihi salam berkata juga dan ucapannya disebutkan dalam firman Allah
Ta’ala:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ
مُؤْمِنًا
“Ya
Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan
beriman”. (QS. Nuh: 28)
Nabi
Isa ‘alaihi salam juga disifati oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
وَبَرًّا بِوَالِدَتِي
“Dan
berbakti kepada ibuku”. (QS. Maryam: 32)
Nabi
Yahya ‘alaihi salam juga disifati oleh Allah Ta’ala demikian yang disebutkan
dalam firman Allah:
وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا
“Dan
banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong
lagi durhaka”. (QS. Maryam: 14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar